Tuesday 13 January 2009

Cerpen / cerita pendek

Cerpen atau cerita pendek adalah karangan fiktir yang berisi sebagian kehidupan seseorang atau kehidupan yang diceritakan secara ringkas. Sebagai sebuah karya sastra, cerita pendek mempunyai unsur-unsur yang membangun yang disebut unsur instrinsik, meliputi hal-hal berikut

  1. Tema adalah masalah, gagasan, atau persoalan yang menjadi dasar cerita.
  2. Alur / plot adalah rangkaian kejadian atau peristiwa pada cerita. Alur dapat berupa maju / progresif, alur mundur / flashback, dan alur campuran.
  3. Latar / setting adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita
  4. Perwatakan / penokohan adalah pemberian sifat pada seorang tokoh atau pelaku dalam cerita.
  5. Sudut pandang adalah kedudukan pengarang dalam cerita, apakah ia berlaku sebagai pelaku utama, ceritakan orang lain, atau serba tahu.

Selain unsur intrinsik, penulis cerpen juga harus mempersiapkan unsur ekstrinsiknya, misalnya nilai-nilai yang terkandung di dalam cerpen yang akan dibuat.

Ibu, Daun, Senja

Ibu suka duduk di beranda. Menikmati angin senja. Memandangi daun-daun berjatuhan di halaman. Sebentar lagi, saat matahari surut ke balik gunung, ibu akan segera memanggilku. Menyuruhku menyapu daun – daun itu. Mengumpulkan. Lalu membakarnya. Dari ruang belakang, aku sudah menunggu panggilan ibu. Namun, meskipun matahari sudah terbenam, ibu belum juga memanggilku. Ingin rasanya aku berjalan ke depan. Menghampiri ibu. Dan mengerjakan apa pun yang diperintahkannya. Namun, aku masih menahan diri untuk beberapa waktu. Mungkin sepeluh menit berlalu. Suasana senja semakin remang dan nyaris gelap. Tetapi, ibu belum juga memanggilku. Apakah ibu lupa ? aku segera berjalan melipir dari samping rumah. Begitu langkahku mencapai teras beranda, aku lihat ibu sedang asyik termenung. Atau melamun ? Dalam remang, masih dapat kulihat di halaman berserakan daun. Besar dan kecil. Itu pasti daun-daun mangga milik tetangga atau daun-daun mahoni diseberang jalan. Atau daun-daun lain yang entah apa namanya dan entah dari mana asalnya. Tak ada niat untuk menyapu. Sudah terlampau senja. Lalu kuhampiri ibu. Apa yang tengah ibu renungkan di saat senja sudah sangat tua begini ?

“Ibu,” ucapku nyaris berbisik.

Sekilas ibu tampak terkejut. Tetapi, setelah tahu yang datang adalah aku, ibu tersenyum tipis. Tipis sekali.

“Kau tak perlu menyapu kali ini.”

“Sudah hampir malam, Bu. Mengapa ibu belum masuk?”

“Ibu masih ingin di luar, Nak. Ibu suka melihat keluasan langit. Ibu suka menikmati embusan angin. Ibu suka sekali memandangi daun-daun yang dibakar! Ibu seperti menghayati sekali.” Ibu terdiam.

“Ibu bisa sakit jika terlalu lama di luar. Apalagi dalam udara malam.”

“Jangan terlalu menghawatirkan ibu, Nak. Tapi, baiklah. Antar ibu ke kamar.”

Kubantu Ibu bangkit dari kursi dan kupapah masuk rumah. Setelah mengantar Ibu, aku cepat balik lagi ke depan. Membenahi meja kursi di beranda. Menututp pintu, jendela, mengunci, menyalakan lampu-lampau beranda dan halaman. Rutinitas kerjaku biasanya langsung surut, usai mengunci pintu pintu dan menyalakan lampu-lampu. Dan aku akan segera masuk kamarku. Dengar radio, nonton televisi, atau membaca.

Ibu selalu penuh perhatian. Jika malam, telah tiba, ibu jarang menggangguku dengan menyuruh ini itu. Hanya sesekali ibu memanggilku dengan telepon yang dipasang pararel jika akan ke kamar mandi untuk mengambil air wudu atau hendak buang hajat. Hampir sepuluh tahun, aku menemani ibu. Irama senja. Malam, dan pagi tak pernah berubah. Namun, rutinitas itu sama sekali tak membuatku jenuh mengabdi pada ibu.

Sebenarnya, ia bukanlah ibuku, ia hanya seorang wanita tua yang baik hati. Dan ia memintaku agar aku memanggilnya “Ibu”, siapa pun yang tak tahu asal usulnya orang akan menduga aku adalah anak kandungnya. Anak satu-satunya. Aku sendiri tak tahu, siapa sebenarnya wanita tua itu. Aku hanya tahu, dialah yang merawat dan membesarkanku. Juga membiayai sekolahku. Sering aku bertanya kepada wanita itu, siapakah sebenarnya aku? Dengan senyum jenaka, wanita tua itu akan menjawab “Kau adalah anak ibu. Anak ibu yang cantik, manis, dan rajin bekerja.”

Ingatan masa kecilku tak sanggup menelusuri jejak hidupku lebih jauh. Tak ada sedikit pun membekas di benakku bayang-bayang ibu bapakku. Yang membekas hanya kolong-kolong jembatan, rumah – rumah kardus, dan emperan-emperan toko yang muram. Semua itu selalu membayang demikian jelas di kelopak mataku. Bahkan, sampai kapan pun bayang-bayang itu takkan pernah hilang. Itu semua sudah menjadi bagian masa kecilku yang tak mungkin terhapuskan. Andai wanita tua itu takberbaik hati memungutku dari jalanan, entah apa jadinya masa depanku. Mungkin kini aku sudah jadi gadis jalanan. Atau malah gembel. Aku sangat berutang budi kepada wanita tua itu. Aku sudah bertekad mengabdi kepadanya sampai akhir hidupku. Namun, tekadku tampaknya tak akan kesampaian. Pengabdianku tampaknya hanya akan sampai pada akhir hidupnya. Sebab dari hari ke hari wanita itu bertambah uzur dan rapuh. Sering sakit. Jalan pun harus dipapah. Pernah aku bertanya, apakah ia punya anak selain aku ? Pertanyaanku dijawabnya dengan sendu. Tidak. Dan ketika aku bertanya lebih jauh tentang suaminya. Tiba-tiba riak mukanya memucat. Sampai sekarang pun pertanyaanku tetap menggantung tak menemukan jawab.

Pagi datang lagi. Matahari bersinar lembut di ufuk. Seperti biasa, ibu minta diantarkan kehalaman belakang, aku menjemur diri hinga kira-kira pukul delapan. Sementara ibu di halaman belakang, aku menyiapkan sarapan roti dan susu. Lalu segera membawanya kepada Ibu. Ibu selalu sarapan sambil menghangatkan tubuhnya di bawah matahari pagi. Dulu, semasa aku sekolah, dan ibu juga masih sehat, menjemur diri di pagi hari tak pernah dilakukan.

Hanya olahraga lari pagi. Itu pun seminggu sekali biasanya hari Minggu. Aku sendiri sering menemaninya. Dan yang menyiapkan sarapan selalu ibu. Aku sangat bersyukur, dulu ibu selalu sehat wal afiat. Andai dulu sudah sakit-sakitan tentu aku bakal sangat kerepotan. Aku harus pandai-pandai mengatur waktu untuk masak, mencuci, sekolah, menyapu, dan lain-lain. Ibu tak pernah punya niat mengambil pembantu.

“Jangan biasakan hidup manja,” katanya.

Ibu mulai sering sakit sejak aku lulus SMA tiba bulan lalu. Mula-mula ibu mengeluh kepalanya sakit sebelah. Setelah diperiksa dokter, ibu kena migrain. Tak lama kemudian, suka kejang-kejang dan kemudian gejala stroke. Sejak itu, aktivitas ibu di luar rumah berkurang, berkurang, dan akhirnya tidak sama sekali. Aku tahu, Ibu memiliki lahan perkebunan sangat luas di suatu tempat di luar kota. Sekali ibu pernah cerita, perkebunan kelapa sawit itu bukan murni hasil jerih payahnya. Dan kelak, aku akan mewarisinya. Beberapa kali ibu pernah mengajakku melihat perkebunan itu.

“Jika tiba waktunya, akan ibu serahkan semua itu kepadamu. Sekarang, kau belajar baik-baik. Kalau perlu kuliah.”

Setelah lulus SMA, aku memang disuruh ibu kuliah. Namun, aku menolak. Aku tak mau merepotkan ibu meskipun soal biaya sama sekali tidak akan jadi masalah. Ibu punya cukup simpanan. Karena tak mau kuliah, ibulah yang “menguliahiku”. Hampir setiap hari, Ibu menuturkan pengalaman bisnis perkebunannya kepadaku. Dari cerita-cerita pengalamannya itu diharapkan wawasanku tentang strategi dan etika berbisnis akan bertambah. Dan cerita seputar itu. Tak sekalipun ia menyinggung cerita masa kecilnya. Apalagi latar belakang keluarganya. Lalu ibu mengungkapkan harapannya agar kelak aku jadi wanita karier yang sukses seperti dia. Dan harus mampu meneruskan jejak yang sudah dirintisnya.

“Ibu ingin membuktikan anak jalanan pun jika diberi kesempatan akan mampu meraih sukses.”

Sarapan ibu tampak tak nafsu. Dua keping roti hanya habis satu. Cuma susu yang tanpa sisa.

“Siang kuantar ibu ke dokter. Kau tidak ke mana-mana, kan?”

“Tidak, Bu.”

“Kau memang tak pernah kemana-mana. Kau tentu emrasa terkurung gara-gara ibu.”

“Jangan berkata begitu, Bu.”

“Kau muda, ibu pernah mengalami masa muda.”

“Sudahlah, Bu. Jangan banyak pikiran. Aku akan senang sekali jika ibu segera sembuh.”

“Ibu sudah kena stroke. Ditambah migrain lagi. Tipis harapan bakal sembuh.”

“Ibu…..? sudahlah, Bu.”

“Mungkin sudah tiba waktunya, ibu mengajakmu meninjau perkebunan itu lagi. Pulang dari dokter kita langsung kesana.”

“Jangan dulu, Bu. Masih ada waktu. Lain kali saja.”

“Ibu khawatir” lain kali” ibu tak ketemu lagi.”

“Ibu……!” kupeluk ibu angkatku itu.”

Perkebunan itu sangat luas. Puluhan hektar. Dan ratusan batang sawit tumbuh amat rimbunya. Sehari setelah cek ke dokter, Ibu mengajakku meninjau, perkebunan itu. Dengan lebih saksama. Mengamati sudut-sudut lahan perkebunan hingga pola tanah, panen, dan tebang. Dan aku nyaris tak percaya lahan seluas itu kelak akan jadi milikku. Rasanya seperti mimpi. Namun, itu bukan sekedar mimpi. Seminggu kemudian, ibu meninggal. Dan harta perkebunan sawit yang amat luas itu sah jadi milikku. Sebelum meninggal, diam-diam ibu sudah mengalih namakan kepemilikan seluruh hartanya. Aku harus benar-benar bersyukur kepada Tuhan. Bahwa aku melalui jalan kehidupan ini dengan lurus dan mulus. Meskipun dulu aku lahir dan besar di jalanan, tanpa jelas siapa yang melahirkan, merawat dan membesarkanku di jalanan. Ternyata, ada seorang wanita yang baik hati menyelematkan masa depanku. Tanpa wanita baik hati itu, entah apa jadinya nasibku.

Menjadi wanita karier, ternyata tak bisa santai. Aku mesti sering keluar rumah menyelesaikan ini itu. Aku tak bisa memasrahkan segala urusan hanya pada sekretaris atau pembantu-pembantu yang lain yang sudah lama bekerja di perkebunan itu sejak ibu merintis bisnis. Dari hari ke hari, setelah cukup lama mengelola perkebunan itu sejak ibu merintis bisnis. Dari hari ke hari, setelah cukup lama mengelola perkebunan itu, aku kadang dihinggapi rasa letih. Dan ingin istirahat. Maka kini aku sering duduk – duduk di beranda, mengawasi langit senja dan sampah daun berserakan. Tapi kini, tak ada gadis yang menyapu, mengumpulkan apalagi membakarnya. Tiba-tiba benakku disesaki kenangan masa kecilku, kolong-kolong jembatan, rumah-rumah kardus, dan emperan-emperan tokoh yang muram….. apakah ibu juga memiliki kenangan masa kecil yang sama denganku? Setelah ibu tiada, pertanyaan itu semaki sulit dijawab.

No comments:

Hawk Advertising

Terima Pemesanan :

ID Card,Undangan, Shooting Video, Banner, Spanduk, Stiker, Blanko, Seragam Kantor, Pengadaan Komputer, Maintenance.

Dan Kebutuhan Kantor lain nya.

Anda Pesan Besok kami Antar (Untuk daerah Surabaya dan Sekitarnya)

Hub : 0856 4999 8 555 / arianto.sam@gmail.com