1. Perkembangan istilah fiqh hingga terbentuk menjadi sistem fiqh
A. Qodri Azizy mengutip pendapat Fazlur Rohman dalam bukunya Islam, bahwa di dalam sejarahnya, istilah fiqh mengalami perkembangan yang mencakup setidaknya tiga fase. Pertama, istilah fiqh berarti “paham” (faham / understanding ) yang menjadi kebaikan dari, dan sekaligus menjadi suplemen terhadap istilah “ilm” (menerima pelajaran) terhadap nash, yakni Al-Qur’an dan Sunnah atau hadist nabi yang keduanya ini sering disebut the outhoritative given. Ilmu dimaksudkan dengan “menerima pelajaran”, oleh karena proses memperoleh ilm itu melalui riwayat penerimaan Al-Qur’an atau Sunnah / Hadist nabi ini bukan melalui riwayat penerimaan, seperti menerima esensi ayat Al-Qur’an atau sunnah/hadist nabi. Penerimaan Al-Qur’an atau Sunnah/Hadist nabi ini bukan melalui pemikiran, perkiraan atau pemahaman, namun berupa penerimaan melalui riwayat. Ini berbeda dengan memberi hukum terhadap suatu kasus dengan cara menafsirkan salah satu ayat Al-qur’an atau Sunnah nasi, dalam tahap ini. Fiqh dipakai untuk memahami dan membuat deduksi dari makna ayat-ayat Al-Qur’an atau sunnah nabi tadi, dengan demikian, fiqh identik dengan ra’y (pendapat pribadi dari fuqoha’ atau ahli fiqh). Dengan kata lain fiqh mengacu pada proses aktivitas untuk memahami atau menafsirkan Al-Qur’an atau Sunnah Nabi. Sedangkan ilm mengacu pada proses “menerima pelajara” tentang Al-Qur’an atau Sunnah-sunnah Nabi itu sendiri. Jadi, dalam fase ini fiqh adalah identik dengan ra’y, sebagai kebalikan ilm yang identik dengan riwayat.4
Sehingga ada istilah mengatakan bahwa Al-fiqhu huwa al-fahmu fiqih itu adalah pemahaman, pemahaman seorang fugaha.5 (Ulama) mengenai hukum-hukum amaliyah dari nash Al-Qur’an maupun Hadist melalui nalar (Ijtihad).
Kedua, fiqh dan ilm keduanya mengacu pada pengetahuan (knowledge) yang berarti menjadi identik. Oleh karena, kita dapatkan istilah “Ilmu agama” atau fiqh tentang materi agama. Disini fiqh mengacu pada pemikiran tentang agama atau pengetahuan tentang agama secara umum yang meliputi kalam, yasauf, dan lainnya, tidak hanya pengetahuan yang berkaitan dengan hukum. Dalam fase inilah kita diberitahu tentang buku yang berjudul al-fiqh al-akbar (fiqh maha besar) karya Abu Hanifah, yang berisi teologi dan tidak mencakup masalah hukum, kecuali satu baris mengenai mash al-khuffayn (mengusap dua khuff (semacam kaos kaki terdiri dari kulit) tanpa harus membasuh kaki dalam berwudlu). Dalam fase ini, hal-hal yang berkaitan dengan tassawuf juga disebut fiqh akan tetapi, perlu kita perhatikan bahwa meskipun fiqh mencakup aspek-aspek selain hukum, ada ciri utama yang tetap menunjukkan karakter utamanya, yaitu berupa intelektual atau pemikiran.6
Ketiga, fiqh berarti suatu jenis disiplin dari jenis-jenis pengetahuan Islam atau ilmu-ilmu keislaman, yakni, hanya disiplin “Hukum Islam” ada yang menyebutnya dengan “hukum positif Islam – atau “Ilmu hukum Islam” sebagai sebuah disiplin berarti merupakan sebuah produk : yaitu, pada hakikatnya merupakan suatu pengetahuan produk Fuqaha’ atau Mujtahid.7
Pada fase ini (bermula sekitar pertengahan abad ke 2 H / 8 Masehi) menurut Fazlur Rahman telah terjadi perubahan yang radikal dalam sifat fiqh, yang berubah dari wujudnya sebagai suatu kegiatan pribadi menjadi berarti atau disiplin yang berstruktur serta kumpulan pengetahuan yang dihasilkannya. Kumpulan pengetahuan tersebut dengan demikian distandarkan dan di mapankan sebagai suatu sistem yang obyektif, fiqh berubah menjadi suatu ilm. Sementara dalam tahap pertama orang menyatakan ‘kita harus menggunakan fiqh (pemahaman) maka sekarang orang harus mengatakan’ kita harus “belajar” atau “mempelajari” fiqh.8
Fase ini, mulai bermunculan kitab-kitab fiqh yang tersusun secara sistematis, kitab fiqh bukan lagi berisi tentang ilmu kalam, tasauf, dan lain sebagainya, tapi hanyalah berisi persoalan-persoalan hukum, ibadah amaliyah atau hukum islam positif.
No comments:
Post a Comment